
Seno
Web Developer
Museum Samparaja Bima adalah museum independen yang dikelola oleh Yayasan Museum Samparaja Bima, berlokasi di Jalan Gajah Mada Karara Nomor 2, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Didirikan oleh Dr. Hj. Siti Maryam Binti Muhammad Salahuddin, putri dari Sultan Muhammad Salahuddin—Sultan Bima ke-14—museum ini menjadi ruang pelestarian, pengembangan, dan pengkajian warisan budaya Kesultanan Bima.
Yayasan ini berdiri secara legal berdasarkan Akta Notaris No. 493 Tahun 1985, dan diperkuat dengan Akta Perubahan No. 01 tanggal 15 Januari 2024. Gedung museum dibangun pada tahun 1990 dengan gaya arsitektur tradisional khas Bima yang dikenal sebagai “Uma Ceko”, dan diresmikan pada 10 Agustus 1995 oleh Bupati Bima, disaksikan oleh perwakilan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Museum ini menyimpan dan merawat lebih dari 5.000 lembar naskah kuno, termasuk manuskrip-manuskrip penting yang membahas berbagai aspek seperti keagamaan, hukum adat dan Islam, pertanian, kelautan, astronomi, serta catatan hubungan politik dan perdagangan antarwilayah. Naskah-naskah ini ditulis dalam beragam bahasa dan aksara, yakni bahasa Melayu dengan aksara Arab Jawi, bahasa Arab dengan aksara Arab, serta bahasa Mbojo (Bima) yang ditemukan dalam aksara tradisional Bima maupun dalam bentuk transliterasi Latin.
Salah satu koleksi unggulan (masterpiece) dari museum ini adalah naskah berjudul Bo’ Sangaji Kai, sebuah dokumen historis penting yang merekam sejarah batas wilayah, sistem pemerintahan, hukum adat, dan relasi diplomatik Kesultanan Bima dengan kerajaan lain serta bangsa asing. Atas nilai sejarah dan intelektual yang dimilikinya, pada tahun 2024, Bo’ Sangaji Kai ditetapkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai bagian dari Ingatan Kolektif Nasional (IKON). Sertifikat pengakuan tersebut secara resmi diserahkan kepada Museum Samparaja Bima.
Sebagai pusat pelestarian, pendidikan, dan riset budaya, Museum Samparaja aktif dalam kegiatan konservasi, digitalisasi, penerbitan katalogus, serta menyediakan akses terbuka bagi pelajar, peneliti, dan masyarakat umum. Museum ini telah menjadi rujukan penting bagi peneliti nasional maupun internasional dalam studi filologi dan sejarah lokal.
Dengan berpegang pada falsafah “Maja Labo Dahu”, Museum Samparaja Bima berkomitmen untuk terus menjaga keberlanjutan warisan budaya, memperkuat jati diri masyarakat, dan menjembatani nilai-nilai sejarah dengan tantangan zaman demi memperkaya peradaban Nusantara.


Mewujudkan Museum Samparaja sebagai pusat pelestarian budaya lokal yang berwawasan global, serta menjadi ruang diplomasi dan edukasi yang inspiratif.

Museum Samparaja didirikan pada tahun 1990 oleh Dr. Hj. Siti Maryam Salahuddin, seorang budayawan sekaligus putri dari Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan ke-14 Kesultanan Bima. Pendirian museum ini dilatarbelakangi oleh semangat pelestarian warisan budaya Kesultanan Bima yang kaya akan naskah kuno, pusaka kerajaan, dan berbagai artefak bersejarah yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam lingkungan keluarga istana.
Setelah masa transisi pasca-kehidupan kesultanan, sebagian anggota keluarga kerajaan menetap di rumah baru yang kini dikenal sebagai Pendopo. Dalam upaya menjaga kelestarian naskah dan benda budaya, keluarga kerajaan terus merawat berbagai manuskrip penting serta benda-benda adat yang memiliki nilai sejarah tinggi. Koleksi ini menjadi dasar pengembangan museum sebagai ruang konservasi dan edukasi budaya.
Perhatian terhadap pelestarian naskah-naskah Bima semakin menguat pada tahun 1984 ketika Pangeran Bernad dari Belanda dan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Van Dongen, melakukan kunjungan ke Bima. Dalam kunjungan tersebut, mereka meninjau sejumlah naskah kuno dan memberikan dukungan moral untuk pelestariannya. Dorongan ini memperkuat tekad Ibu Siti Maryam untuk mendirikan lembaga budaya yang mampu menjadi pusat penyimpanan, studi, dan promosi warisan dokumenter Kesultanan Bima.
Sejak berdiri, Museum Samparaja telah mengoleksi lebih dari seribu artefak dan dokumen yang mencerminkan peradaban Kesultanan Bima. Koleksinya mencakup naskah-naskah kuno dalam berbagai bahasa dan aksara, di antaranya Arab, Melayu, dan Mbojo. Teks-teks tersebut ditulis menggunakan aksara Arab, Jawi, serta aksara lokal Bima, dan mencakup berbagai bidang, mulai dari hukum, silsilah, sastra, hingga diplomasi dan hubungan antarwilayah.
Selain manuskrip, museum juga menyimpan barang-barang koleksi istana seperti guci, kain tenun, foto-foto sejarah, serta dokumen kolonial turut memperkaya koleksi museum. Beberapa koleksi bahkan berasal dari masa-masa awal kolonial hingga era modern, sehingga mencerminkan kontinuitas sejarah budaya Bima dalam berbagai konteks zaman.
Salah satu koleksi unggulan museum adalah naskah Bo’ Sangaji Kai, disalin pada abad 17 hingga 19. Bo’ Sangaji Kai merupakan sebuah kumpulan dokumen dan catatan yang disusun dan diedit selama periode Kesultanan Bima. Naskah ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber, termasuk naskah asli, salinan dari dokumen lain seperti surat, kontrak, atau akta yang lebih tua, serta rekaman berdasarkan ingatan. Naskah ini, bersama dengan naskah La Notogama, merupakan bagian dari warisan dokumenter yang dirawat oleh keluarga Sultan dan kemudian dikumpulkan ke dalam koleksi museum setelah pendiriannya.
Bo’ Sangaji Kai telah menjadi perhatian kalangan akademik dan lembaga kearsipan nasional. Pada tahun 2024, naskah ini secara resmi ditetapkan sebagai bagian dari Ingatan Kolektif Nasional (IKON) oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penetapan ini memperkuat posisi museum sebagai penjaga warisan dokumenter yang diakui secara nasional.
Sejak berdiri, Museum Samparaja telah mencatat berbagai pencapaian penting. Museum menjadi pusat studi manuskrip dan sejarah lokal yang aktif mengembangkan program konservasi dan digitalisasi naskah. Kegiatan ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan akses terhadap warisan intelektual masyarakat Bima.
Museum juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa kolaborasi ilmiah dan kunjungan kuratorial telah dilakukan dalam rangka pertukaran pengetahuan dan penguatan kapasitas institusional. Selain itu, museum rutin menyelenggarakan forum ilmiah, diskusi budaya, serta kegiatan edukasi publik yang melibatkan pelajar, peneliti, dan komunitas lokal.
Sebagai institusi budaya, Museum Samparaja tidak hanya menjadi tempat penyimpanan benda bersejarah, tetapi juga memainkan peran penting dalam diplomasi budaya dan penguatan identitas lokal. Dengan visi menjadi pusat pelestarian dan kajian budaya Bima yang bertaraf internasional, museum terus bertransformasi menjadi ruang dialog antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.








Oleh Yayasan Museum Kebuduayaan Samparaja Bima