Bima Dalam Lintasan Sejarah

  • Ilustrasi sultan 1 - Pemandangan pedesaan menampilkan rumah beratap alang-alang bergaya tradisional — koleksi Museum Samparaja.

    Daerah Bima atau Dana Mbojo telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Daeran yang terhampar di ujung timur pulau Sumbawa ini telan mengalami fase Sejarah yang panjang yang diawali Zaman Naka, Zaman Ncuni. Kerajaan, Kesultanan, Swapraja, Swatantra, Daerah Tingkat II Kabupaten, hingga saat ini dimekarkan menjadi dua daerah otonom yaitu Kota Bima dan Kabupaten Bima. Berikut sekilas tentang fase Sejarah Bima mulai masa Naka hingga masa kerajaan dan kesultanan hingga berakhirnya Kesultanan Bima

  • 1. Fase Naka

    Masa Pra Sejarah Bima dikenal dengan Zaman Naka. Keterangan tertulis tentang masa ini tidak ada. BO (Kitab Kuno Kerajaan Bima) hanya menceritakan bahwa sebelum masa Neuhi, masyarakat Bima hidup dalam zaman Naka. Ciri kehidupan zaman ini hampir sama dengan ciri kehidupan zaman pra sejarah pada umumnya yaitu nomaden, food gathering, belum mengenal tulisan, belum mengenal pertanian dan peternakan dan menganut kepercayaan Makamba Makimbi, sejenis dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Diperkirakan pendukung zaman naka adalah orang-orang Donggo yang merupakan penduduk Asli Bima atau juga mereka sudah terdesak ke timur seperti Flores, Sumba dan sekitarnya.

  • 2. Fase Ncuhi

    Masa Ncuhi merupakan masa ambang sejarah (Proto Sejarah). Pada masa ini masyarakat sudah hidup berkelompok, menetap, mengenal pertanian dan peternakan. Mereka sudah mulai hidup teratur di bawah pimpinan wilayah yang disebut NCUHI. Bo menulis: Sawatipu ba londona sia sangaji, wa’ura wara dou labo dana (Sebelum datangnya Sangaji (Raja) sudah ada orang dengan tanahnya). Bo juga menulis: Ndi tangara kai Ncuhi, ededu dumu dou, inampu’una ba weki ma rimpa, ndi batu wea ta lelena, ndi siwi wea ta nggawona. Artinya, Ncuhi adalah manusia utama, penghulu masyarakat serumpun, diharapkan pengayomannya, untuk diikuti arah condongnya.

    Ncuhi adalah pemimpin kharismatik tradisional yang menguasai wilayah gunung dan lembah. Nama Ncuhi diambil dari nama gunung dan lembah yang dikuasainya. Ncuhi asal kata Ncuri atau Suri yang menjadi cikal bakal kehidupan. Ada banyak Ncuhi di Bima. Ada Ncuhi Lambu, Jia, Buncu, Sape, Kabuju, Kolo, Padolo, Mola dan lain-lain. Mungkin jumlahnya ada ratusan orang. Tapi ada lima Ncuhi induk yang merupakan pimpinan wilayah yang men bawahi Ncuhi-ncuhi tersebut yaitu Dara (Wi yah Tengah, pusat kota), Dorowuni (Wilayah Timur) Bolo (wilayah Barat), Banggapupa(Wilayah Utara) dan Parewa (Wilayah Selatan). Lima Ncuhi inilah yang kemudian mengadakan musyawarah di Doro Babuju untuk mengangkat seseorang yang bergelat Sang Bima menjadi Raja.

    Pada masa Ncuhi, Bima telah menjalin hubungan dengan negeri-negeri di luar. Hal itu didukung oleh teluk dan pelabuhan alamnya yang tenang dan indah. Menjadi tempat persinggahan terbaik bagi para pela dan pedagang dari berbagai negeri. Hasil alam Bima juga diminati seperti kayu Soga, Sopa, pewarna, Rotan, Kerbau, kuda, padi da palawija serta hasil alam lainnya.

    Sejak Abad XII Masehi, kuda asal Bima sudar tersohor di Nusantara. Saat itu, para pedagang dari berbagai penjuru datang membeli Kuda Bima, kemudian dijual di negeri asalnya untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan dan panglima perang. Dalam Kitab Negara Kertagama dinyatakan, Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulaua Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kul membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.

  • 3. Fase Kerajaan

    Untuk mengetahui pendirian kerajaan Bima dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kerajaan Hindu di Jawa pada Abad VIII hingga runtuhnya Majapahit. Kerajaan Bima mulai dirintis antara abad IX, Abad X dan Abad XI bersamaan dengan zaman kejayaan Erlangga di Jawa Timur. Kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa yang berkembang saat itu adalah Medang, Kahuripan, Singosari, Kediri dan Majapahit.

    Kerajaan Medang adalah kerajaan Mataram Hindu yang berdiri di Jawa Tengah pada Abad VIII dan pindah di Jawa Timur pada Abad X. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak Candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11. Pada umumnya para sejarahwan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

    Situs Wadu Pa’a mungkin saja dapat menjadi penghubung mata rantai Sejarah antara Jawa dan Bima. Orang-orang di kerajaan Medang adalah penganut Agama Hindu Syiwa. Relief dan Stupa di Wadu Pa’a juga beraliran Hindu Sywa. Nama-nama, gelar, julukan maupun panggilan kepada orang-orang di kerajaan itu adalah nama-nama yang ada dalam Epik Mahabarata terutama pandawa lima, Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Raja Sanjaya sendiri juga bergelar Bratasena. Erlangga dalam kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa juga bergelar Arjuna. Kakawin Arjunawiwaha ditulis antara tahun 1028-1035 M oleh Mpu Kanwa dipersembahkan untuk Raja Erlangga dari kerajaan Medang Kamulan(Kahuripan), menantu Raja Dharmawangsa.

    Berkaitan Dengan Sang Bima, Bo menulis ” Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo menyampaikan Keputusan musyawarah pada saat Sang Bima sedang memahat Wadu Pa’a”. Pendirian Wadu Pa’a mungkin dilakukan oleh Sang Bima yang beragama Hindu Siwaistis atau orang-orang Hindu yang hilir mudik melewati laut Flores kala itu. Kuat dugaan ia sedang memimpin sebuah ekspedisi yang singgah di pulau Satonda kemudian tiba di Asa Kota Teluk Bima. Sang Bima menerima permintaan Neuhi Dara untuk menjadi Raja atas wilayah kekuasaan para Ncuhi. Namun Sang Bima menyerahkannya kembali kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya. Sang Bima menjanjikan bahwa dikelak kemudian hari akan datang anak keturunannya untuk memerintah. Sang Bima melanjutkan perjalanannya ke wilayah timur.

    Pada perkembangan berikutnya, keturunan Sang Bima Indra Zamrut dan Indra Komala datang ke Bima. Berkaitan dengan hal tersebut BO menulis dengan rinci mulai dari kedatangan Indra Zamrut yang diterima oleh Ompu dan Wa’i Aha di selatan Dompu, hingga dibawa ke Ncuhi Parewa dan di terima Ncuhi Dara. Berberapa lama kemudian Indra Zamrut pun dilantik menjadi Raja Bima Pertama. BO menulis kedatangan Indra Zamrut pada tahun 823 H yang bertepatan dengan tahun 1420.

    Penulisan BO mulai dirintis pada masa pemerintahan Manggampo Jawa. BO pada masa ini memakai daun lontar dengan tulisan Bima. BO tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh-contoh huruf Bima dapat dilihat dalam History Of Java (Thomas Stamford Raffles). Pada masa ini Manggampo Jawa menghadirkan seorang penulis dan seniman dari Majapahit bernama Ajar Panuli. Dialah yang menulis BO dan memperkenalkan tehnik pembuatan Batu Bata dalam kerajaan Bima. Abad XV Kerajaan Bima mampu tampil dipentas sejarah sebagai kekuatan yang disegani lawan dan dihormati kawan di sepanjang nusantara timur. Raja Manggampo Donggo dan Perdana Menteri Bilmana berhasil meningkatkan perekonomian Bima. Pencetakan sawah-sawah dilakukan secara besar-besaran, bendungan dan irigasi disiapkan. Sebagian sawah dipergunakan untuk kepentingan kerajaan, dan jaminan/gaji bagi penguasa hadat setempat yang dikenal dengan Dana Sara. Sejak saat itu Bima menjadi gudang beras. Perekonomian mulai stabil. Daerah dataran tinggi dijadikan Ruhu-ruhu atau Suaka Marga Satwa dan Hutan lindung. Untuk menjaga kelestarian Hutan Bilmana mengangkat Manenti Mpori atau Menteri Kehutanan. Melalui usaha itu, ternak terjamin kelestariannya seperti kerbau, kuda, rusa dan segala jenis burung.

    Kemudian, Bilmana membenahi bidang keamanan. Sadar bahwa kerajaannya adalah kerajaan Agraris sekaligus maritim, Manggampo Donggo dan Bilmana membentuk Armada Laut yang dikenal dengan Rato Pabise. Armada inilah pada masa Abdul Khair Sirajuddin Sultan Bima II yang Berjaya melawan kapal-kapal perang Portugis dan Belanda. Armada darat mulai ditata dengan meningkatkan kemampuan prajurit dan organisasi. Pasukan berkuda diciptakan denga nama Jena Jara. Dibentuklah Panglima Laskar Kerajaan yang dipimpin oleh Bumi Renda. (Dengan mengadopsi sistim pemerintahan di Sulawesi Selatan, Manggampo Donggo dan Bilmana menata Pemerintahan. Kepala Pemerintahan dipegang secara bersama-sama oleh Raja dan Tureli Nggampo dibantu oleh Lembaga Adat yang terdiri dari 6 Jeneli dan 12 Bumi Nae yang dipimpin Bumi Luma Rasanae dan Bumi Luma Bolo. Sistim ini terus dipertahankan hingga masa kesultanan yang hanya melengkapi dengan lembaga baru yang bernama Sara Hukum. Tercatat dalam Sejarah, Bilmana menugaskan La Mbila untuk memperluas wilayah kerajaan. La Mbila dibantu oleh adiknya La Ara melakukan ekspansi dan invasi ke nusantara timur. Kakak beradik ini berhasil menguasai Solor, Timor, Sumba dan Sawu.La Mbila diberikan gelar Rumata Ma Kapiri Solor karena tampil sebagai tokoh militer yang kuat dan menguasai wilayah yang jauh dari tanah leluhurnya. Penguasaan atas daerah-daerah ini terus berlanjut hingga pada tahun 1927.

  • 4. Fase Kesultanan

    Awal Abad XVII kerajaan Bima mengalami kemelut politik yang berkepanjangan. Salisi, putra raja Ma Wa’a Ndapa merebut kekuasaan dengan melakukan serangkaian intrik dan pembunuhan. Setelah kakaknya Mantau Asi Sawo meninggal, Salisi melakukan pembunuhan terencana atas putra mahkota kerajaan. Sangaji Samara dibunuh, adiknya juga dibunuh dengan diajak berburu ke padang rumput Wera, sehingga dikenal dengan Ruma Ma Mbora Di Mpori Wera (Tuanku yang meninggal di padang rumput Wera), yang tersisa hanyalah La Ka’i, putera Mahkota yang masih berusia 9 tahun. Tanpa persetujuan Majelis Hadat, Salisi yang dibantu Belanda merebut tahta dan menjadi Raja.

    Salisi adalah Raja Bima terakhir, setelah tahtanya digulingkan oleh La Ka’i yang didukung oleh seluruh Rakyat dan bala bantuan armada Gowa selama tiga kali ekspedisi. Perjuangan La Ka’i adalah perjuangan panjang dan berdarah. La Ka’i yang telah memeluk Islam bersama pengikutnya tampil dipentas sejarah yang merubah seluruh tatanan sistim politik, pemerintahan dan agama masyarakat Bima. 5 Juli 1640 M menjadi tonggak berdirinya kesultanan Bima dengan Sultan yang pertama Abdul Khair (La Ka’i) dan perdana menterinya La Mbila yang setelah memeluk Islam berganti nama menjadi Jalaluddin. Bima memasuki era kesultanan yang berlandaskan Islam.

    Ada 15 orang Sultan yang memerintah selama lebih kurang 322 tahun mulai tahun 1640 M hingga tahun 1951 pasca wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin. Dalam proses estafet kepemimpinan di Dana Mbojo itu, tiap sultan punya strategi tersendiri dalam proses islamisasi, pembumian Alqur’an dan ide-ide cemerlang dalam membangun masyarakat dan daerah Bima. Tidak hanya itu, sistim dan struktur pemerintahan terus dibenahi sejalan dengan syariat Islam.

    Era kesultanan Bima adalah juga era penjajahan di Nusantara. Hingga tidak heran berbagai kepentingan penjajah juga merambah tanah ini. Bangsa-bangsa Eropa silih berganti menanamkan pengaruhnya dalam kancah perpolitikan, pemerintahan dan ekonomi di Bima. Portugis, Inggris dan Belanda silih berganti berebut kekuasaan dan monopoli ekonomi. Namun yang paling lama memerintah adalah Belanda.

    Api perjuangan dan perlawananpun berkecamuk di tanah ini. Meski setiap sultan berbeda-beda cara dan strategi melakukan perlawanan, namun perlawanan itu bagai api yang tak kunjung padam. Ada sultan yang melakukan perlawanan dengan diplomasi seperti Sultan Abdul Hamid, Sultan Ibrahim dan Sultan Muhammad Salahuddin. Ada juga yang dengan menghunuskan krisis di depan Pejabat Hindia Belanda. Beberapa sultan Bima meninggal secara tragis akibat perlawanan yang tiada padam kepada penjajah, seperti Sultan Jamaluddin yang meninggal di penjara Batavia tahun 1696, sultanah Komalasyah dan puteranya yang dibuang ke Ceilon Srilangka karena menolak kerja sama dengan Belanda.

    Masa kesultanan bisa dikatakan masa keemasan dan kejayaan Islam di tanah Bima. Islam di era kesultanan bersinar cemerlang dan mencapai puncak kejayaanya. Prof. Hamka pernah bertutur, jika ingin belajar Islam datanglah ke Bima. Berbagai kitab sejarah dan ulama-ulama besar telah banyak dilahirkan dari peradaban kesultanan tentu menjadi tanda Tanya besar, apa dan bagaimana strategi pembumian alquran dan dakwah islamiyah kala itu?. Lalu apa saja peranan para sultan dalam menjadikan negaranya sebagai Negara Islam hingga tahun 1951 dan masa transisi lahirnya Undang-undang nomor 69 tahun 1958 Tentang pembentukan daerah-daerah di propinsi Bali, NTB dan NTT. Untuk itulah, melalui Buku Profil Raja Dan Sultan Bima ini penulis ingin memperkenalkan kiprah para Raja dan terutama Sultan Bima dari masa ke masa dalam meletakan pondasi dasar bagi Islam, kebudayaan dan ilmu pengetahuan di tanah Bima.

  • 5. Fase NKRI dan Kini

    Setelah Sultan Muhammad Salahuddin wafat pada tahun 1951, kesultanan Bima seperti lentera kehabisan minyak menunggu padam. Semangat Proklamasi dan perjuangan mengisi kemerdekaan dalam alam Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat kental dan mempengaruhi arah perjalanan sejarah kerajaan dan kesultanan Bima yang telah dibangun sejak abad XIV. Bima kemudian dijadikan daerah Swapraja, Swatantra hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah tingkat II di Propinsi Bali, NTB dan NTT. Kesultanan Bima berakhir oleh sejarah itu sendiri. Kini daerah Bima telah dimekarkan menjadi dua wilayah, yaitu Kota Bima dan Kabupaten Bima.

    Kabupaten Bima terletak di ujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 70-30 lintang selatan dan 117-30 bujur timur, Sesuai Data BPS tahun 2012, luas wilayah Kabupaten Bima adalah 437,465 Ha atau 4.394, 38 Km 2 atau sama dengan 22,10% dari wilayah Propinsi NTB, terdiri dari 18 kecamatan, 191 desa dan 419 dusun. Kecamatan Tambora adalah kecamatan terluas yang mencapai 14, 30% luas wilayah Kabupaten Bima. Secara umum topografi Kabupaten Bima berbukit-bukit. Setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup bervariasi dari datar hingga bergunung-gunung dengan ketinggian antara 0-477,50 meter di atas permukaan laut.

    Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif pendek yakni dari bulan Desember sampai dengan Maret. Berdasarkan data kependudukan tahun 2012, penduduk Kabupaten Bima berjumlah 447. 286 jiwa. Kabupaten Bima memiliki 1 (satu) buah pelabuhan laut regional dan 1 (satu) buah pelabuhan ASDP lintas penyeberangan di Kecamatan Sape menuju Pulau Komodo, Labuan Bajo dan Ende Nusa Tenggara Timur serta 12 (dua belas) pelabuhan lokal yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Bima Nomor: 57 Tahun 2006. Pelabuhan regional tersebut berada di kecamatan yang hingga saat ini belum dapat disandari oleh kapal-kapal yang bertonase besar karena dangkal. Selain itu masih terdapat pula satu pelabuhan khusus untuk mengekspor hasil tambang mangan yang letaknya di Desa Laju Kecamatan Langgudu.

    Pelayanan jasa angkutan udara dilaksanakan melalui Bandar Udara M. Salahuddin Bima yang merupakan satu-satunya bandar udarayang ada di wilayah Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu. Bandar Udara M. Salahuddin Bima kini telah mampu melayani pesawat jenis Fokker 26, diantaranya pesawat Merpati dan Trans Nusa. Rute yang dilalui yakni penerbangan dari Bima menuju Mataram, Denpasar, Surabaya dan Jakarta.

    Keadaan alamnya yang begitu indah, masyarakatnya yang ramah dan keunikan budaya lokalnya yang beranekaragam serta posisinya yang berada pada jalur segitiga emas daerah tujuan wisata Bali, Tanah Toraja dan Komodo telah menempatkan Kabupaten Bima sebagai daerah yang menyimpan sejuta pesona untuk dikunjungi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Secara garis besar obyek wisata di Kabupaten Bima terbagi kedalam 4 (empat) jenis Wisata, yakni Wisata Alam, Wisata Budaya, Wisata Religi / Ziarah dan Wisata Kesenian Tradisional.

    Kota Bima terdiri dari lima kecamatan dan memiliki luas wilayah 222,25 km2. Terletak antara 118 41′-118 48′ Bujur Timur dan 8 30 -8 20′ Lintang Selatan. Asakota merupakan kecamatan yang memiliki luas area terbesar, yaitu 69,03 km2 sedangkan Kecamatan Rasanae Barat merupakan kecamatan tersempit dengan luas wilayah hanya 10,14 km2. Jarak antara ibu kota (Raba) dengan pusat Kecamatan berkisar antara 1,20 sampai 6,00 km. Dari tujuh sungai yang ada di Kota Bima, Sungai Lampe merupakan sungai terpanjang dengan panjang 25 km. Berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi 2012, jumlah penduduk Kota Bima mencapai 146.308 jiwa. Dengan rincian, laki laki sebanyak 71.911 jiwa dan perempuan sebanyak 74.397 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi telah menyebabkan tingginya jumlah penduduk yang berusia muda.

    Kota Bima mempunyai potensi sumber daya alam yang didukung kondisi lahan dan iklim yang cocok untuk pengembangan pertanian. Potensi-potensi yang ada tersebut mendukung program-program yang dikembangkan di sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan guna menciptakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat. Komoditas Utama tanaman pangan kota Bima adalah

    Padi, Jagung dan kedelai. Namun seiring perkembangan waktu, perlu dicermati pula penggunaan lahan pertanian untuk pemukiman dan perumahan. Harus ada kebijakan untuk menetapkan Lahan Abadi Hijau untuk terus mendukung eksistensi pangan di kota Bima.

    Letaknya yang berada di pinggir teluk Bima, menjadikan Kota Bima juga memiliki Potensi sektor perikanan dengan keberadaan wilayah pesisir laut yang dimiliki. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2008 mencapai 553,10 ton yang terdiri dari budidaya tambak 508,50 ton, kolam/keramba 43.000 ton. Produk perikanan yang berasal dari penangkapan laut 1.053.10 ton dan perairan umum 11.60 ton. Selain produksi ikan, produksi kelautan lainnya adalah rumput laut dengan luas 5 ha dan produksi rumput laut basah 38,40 ton.

    Di bidang perhubungan dan transportasi, Kota Bima memiliki posisi yang strategis dalam pergerakan manusia dan barang, baik yang berskala regional maupun nasional. Pelayanan anan transportasi darat dan laut melayani mobilitas antar pulau. Transportasi darat dengan angkutan Bus melayani route antar kota dalam propinsi dan antar propinsi dengan tujuan kota-kota besar di pulau Jawa seperti Surabaya, Semarang dan Jakarta. Untuk pelayanan transportasi laut terdapat pelabuhan Bima yang dikelola oleh PT. Pelindo III Cabang Bima dengan route pelayaran antar pulau seperti Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.

    Untuk mewujudkan kota Bima sebagai Kota Perdagangan dan Jasa, sektor Industri mempunyai peranan penting dalam kegiatan perekonomian. Industri yang ada di Kota Bima merupakan industri kecil dengan jumlah unit usaha sebanyak 768 unit dan menyerap tenaga kerja 1.959 orang. Jumlah industri yang dirinci menurut jenis kerajinan adalah industri kayu sebanyak 228 unit, Logam/Logam mulia sebanyak 113 unit, kain tenun 31 unit, makanan 230 unit, dan lain-lain jenis usaha masyarakat sebanyak 166 unit. Sementara itu jumlah industri Rumah Tangga sebanyak 76 unit dan jumlah tenaga kerja sebanyak 2.959 orang. (Diadaptasi Dari Buku Profil Daerah Kota Bima oleh Baq pela Kota Bima Tahun 2012)